Desa Concong dalam : Potensi Kerusakan Mangrove dengan Tantangannya Part 2

Kondisi sumber ekonomi masyarakat ini sangat tergantung pada alam, yang dalam prosesnya juga menimbulkan ancaman keberadaan ekosistem mangrove. Saat ini terjadi degradasi ekosistem mangrove di desa concong dalam akibat pemanfaatan oleh masyarakat setempat.

Jaini, 53 Tahun merupakan masyarakat desa concong dalam, pada tahun 1920 kakek jaini merupakan orang pertama yang masuk ke desa ini untuk bertani kelapa, intrusi air laut menyebabkan rusak nya tanaman kelapa pada saat itu, sehingga beralih menjadi nelayan.

Yayasan Mitra Insani pada tahun 2012 melakukan upaya bersama masyarakat dalam mengembalikan kerusakan ekosistem mangrove di desa concong dalam, mulai dari pembibitan hingga penamanan di kawasan yang telah terdegradasi. 10 tahun telah berlalu, namun lokasi yang dilakukan penanaman waktu itu kondisi nya tampak telah terjadi banyak penebangan. Tanaman yang di tanam adalah jenis bakau atau Rhizophora SP , dalam pantauan terakhir ukuran bakau telah sebesar lengan orang dewasa dengan ketinggian hampir mencapai 6 meter.

Melalui obrolan bersama jaini, bahwa sulit untuk mengidentifikasi siap yang melakukan penebangan kayu kayu bakau tersebut, sebab daerah concong dalam dan lokasi penanaman bakau tersebut adalah jalur keluarnya masyarakat dari desa – desa lain yang tidak ada penduduknya. Jaini juga mengatakan bahwa penebangan ini biasanya digunakan memang untuk kebutuhan bukan komersil, dari dahulu kebutuhan akan pembuatan rumah hampir 70 % bahan bangunannya menggunakan kayu bakau. Besarnya kebutuhan akan membangun rumah mungkin menjadi faktor utama penebangan ini terjadi.

“Kalu untuk ukuran sebesar lengan dewasa biasanya digunakan untuk mengganti kasau rumah yang telah lapuk, sebab besar dan panjang nya pas “ ujar jaini.

Saat ini kebutuhan akan bahan bangunan memang sangat sulit didapat bagi warga concong, selain akses mendatangkan bangunan yang harus melalui jalur air, kelangkaan kayu yang berasal dari hutan rawa gambut juga jadi permasalahan utama.

Dalam obrolan disebutkan bahwa penggunaan kayu dari ekosistem mangrove bukanlah pilihan dalam pembangunan rumah, akan tetapi dengan segalan tantangan dan hambatan serta keterbatasan yang ada, masyarakatt akhirnya melilih untuk menggunakan kayu bakau sebagai alternatif dalam pembangunan atau melakukan perbaikan. Pada akhirnya sekarang spesies mangrove seperti nyirih digunakan sebagai tongkat rumah, pohon tumu menjadi gelagar (girder plate), bahkan sampai pada kasau, range dan papan.

Untuk mencapai ukuran yang pas diolah menjadi papan, pohon tumu yang ditebang biasanya berumur 20 tahun, sebatang pohon tumu bisa dibuat menjadi beberapa keping papan dengan panjang 5 meter dan ketebalan setengah inci. Harga per keping papan dijual seharga Rp 35.000. Ketahanan tumu menurut  jaini bisa sampai 15 tahun, jika tidak terpapar hujan dan panas.

Tumu menjadi pilihan karena pohonnya yang relatif lurus dan jumlahnya yang masih banyak. Hampir 70% komponen rumah warga Concong Dalam sekarang menggunakan kayu tumu. namun untuk bahan dinding rumah, warga saat ini menggunakan asbes yang dibeli di ibu kota kabupaten Tembilahan. Sebab jika masih menggunakan papan biayanya tinggi, sementara asbes lebih murah dan mudah dipasang karena sudah dicetak lurus dari pabrik.

Selain untuk keperluan rumah kayu tumu juga digunakan untuk keperluan pesta perkawinan, dijadikan kayu bakar dan bangunan sementara untuk meletakkan peralatan dapur dan pesta. Pohon ini juga menjadi incaran para penebang liar yang akan meanfaatkan tumu sebagai kayu “cerocok”, sebagai pondasi bangunan.

Faktor eksternal ini mengakibatkan adanya pola perubahan pada masyarakat pesisir. Karena didorong oleh kebutuhan, maka akan selalu ada penebangan hutan mangrove. sampai pohon-pohon yang berukuran besar habis dan yang tersisa hanya pohon muda yang perlu waktu lama untuk tumbuh.

Leave a Comment

Your email address will not be published.